BAB I
PENDAHULUAN
A. 1.1 Latar
Belakang
Memahami perkembangan aspek afektif peserta didik
merupakan salah satu faktor untuk mencapai hasil yang baik dalam proses
pendidikan, tidak hanya dalam hasil akademik tapi juga dalam hal pembentukan
moral.
Afektif mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki
oleh setiap peserta didik, yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam
pembelajaran. Pemahaman guru tentang perkembangan afektif siswa sangat penting
untuk keberhasilan belajarnya. Setiap peserta didik memiliki emosi yang
berbeda, sehingga rangsangan yang diberikan juga harus berbeda.
Reaksi emosional dapat berkembang
menjadi kebiasaan, sehingga mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap
individu ataupun peserta didik. Penjelasan di atas menjelaskan tentang bagaimana
keterkaitan emosional pada tingkah laku yang akan dilakukan. Untuk lebih jelas
mengenai perkembangan emosional, makalah ini akan membahas bagaimana
perkembangan emosional dan keterkaitan antara nilai, sikap dan moral yang
mencangkup pada makalah yang berjudul “Perkembangan Afektif”.
B. 1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka permasalahan Perkembangan Afektif adalah:
1. Apa
pengertian emosi?
2.
Bagaimana karakteristik perkembangan emosi?
3.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan
emosi?
4.
Bagaimana hubungan antara emosi dan tingkah laku?
5.
Bagaimana perbedaan individu dalam perkembangan emosi?
6.
Bagaimana upaya pengembangan emosi remaja dan
implikasinya dalam penyelenggaraan pendidikan?
7. Apa
pengertian dan keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap, serta pengaruhnya
terhadap tingkah laku?
8. Bagaimana
karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja?
9.
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
nilai, moral, dan sikap?
10. Bagaimana
perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap?
11. Bagaimana
upaya-upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja dalam penyelanggaraan
pendidikan?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Menjelaskan pengertian emosi
2.
Menjelaskan karakteristik perkembangan emosi
3.
Menjelasakan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan emosi
4.
Menjelaskan hubungan antara emosi dan tingkah laku.
5.
Menjelaskan perbedaan individu dalam perkembangan
emosi.
6.
Memberi contoh upaya pengembangan emosi remaja dan
implikasinya dalam penyelenggaraan pendidikan.
7. Menjelaskan
pengertian nilai, moral, dan sikap
8. Menjelaskan
saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap, serta pengaruhnya terhadap tingkah lakunya.
9.
Menjelaskan karakteristik nilai, moral, dan sikap
remaja.
10. Menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap.
11. Menjelaskan
perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap.
12. Memberi
contoh upaya-upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja dalam penyelanggaraan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Emosi
Kehidupan seseorang pada umunya penuh dengan dorongan
dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Seberapa banyak
dorongan-dorongan dan minat-minat yang dimilikinya merupakan dasar pengalaman
emosionalnya. Perjalanan kehidupan seseorang tidak selalu sama. Keinginan dan
minat yang berbeda-beda dimiliki oleh setiap individu menurut pola hidupnya
masing-masing. Selain itu jalan atau cara yang dilakukan untuk memuwujudkan
minat dan keinginan yang didorong oleh emosional itu berbeda satu sama lain.
Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung mulus, di
mana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan atau minatnya dapat terpenuhi
atau dapat berhasil dicapai, karena cenderung memiliki perkembangan emosi yang
stabil dan dengan demikian dapat menikmati hidupnya. Hal itu juga didukung
dengan nilai, sikap dan moral yang ke arah positif.
Sedangkan bagi pola kehidupan yang tidak berlangsung
dengan mulus atau terdapat hambatan yang membuatnya tidak terlalu menikmati
hidupnya, karena emosionalnya tidak stabil. Sehingga nilai, moral dan sikapnya
terkadang cenderung ke arah negatif.
Hubungan anatar emosional dengan nilai, moral dan sikap adalah dorongan
emosional dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Karena
itu, seseorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak dia arahkan
oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan yang objektif.
1. Pengertian Emosi
Perasaan senang atau tidak senang yang selalu
menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna
afektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah tau kadang-kadang tidak
jelas (samar-samar). Dalam hal warna afektif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan
menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan
tersebut disebut emosi (Sarlito, 1982:59). Di samping perasaan seneng
atau tidak seneng, beberapa contoh macam emosi yang lain adalah gembira, cinta,
marah, takut, cemas dan benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi
dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secar kualitatif
berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat warna afektif
dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi;
contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita
mendefinisikan emosi. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah
pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
2. Karakteristik Perkembangan Emosional.
Pola emosi remaja adalah sama dengan pola emosi masa
kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah : cinta/kasih
sayang, gembira, amarah, takut, dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain.
Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang mengakibatkan
emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadapat
ungkapan emosi mereka.
Remaja sendiri menyadari bahwa aspek-aspek emosional
dalam kehidupan adalah penting (Jersild, 1957:133). Untuk selanjutnya berikut
ini dibahas beberapa kondisi emosional sebagai berikut:
a.Cinta/Kasih Sayang
Faktor
penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain
dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk menerima
cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya.
Kebutuhan
untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun
kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja
yang berontak secara terang-terangan, nakal dan mempunyai sikap permusuhan
besar kemungkinannya disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang
tidak disadari.
b. Gembira
Pada umumnya individu dapat mengingat kembali
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang dialami selama remaja. Perasaan
gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat
perhatian dari petugas peneliti daripada perasaan marah dan takut atau tingkah
laku problema lain yang memantul-mantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami
apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan para remaja akan
mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia
jatuh cinta dan cintanya itu mendapat sambutan (diterima) oleh yang dicintai.
c. Kemarahan dan Permusuhan
Sejak
masa kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja untuk mencapai
dan memiliki kebebasan sebagai seorang pribadi yang mandiri. Rasa marah
merupakan gejala yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan peranan yang
menonjol dalam perkembangan kepribadian.
Pertama, diantara emosi-emosi ini adalah cinta, dimana kita ketahui bahwa
dicintai dan mencintai adalah gejala emosi bagi perkembangan pribadi yang
sehat. Rasa marah juga penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya
seseorang mempertajam tuntutannya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah melalui
banyak fase dalam perkembangan emosional, antara lain dalam kaitanya dengan
perbuatan marah dan cara menyatakan kemarahan itu. Kondisi-kondisi dasar yang
menyebabkan timbulnya rasa marah kurang lebih sama, tetapi ada beberapa
perubahan sehubungan dengan pertambahan umurnya dan kondisi-kondisi tertentu
yang menimbulkan rasa marah atau meningkatnya penguasaan kendali emosional.
Banyaknya hambatan yang menyebabkan anak kehilangan kendali terhadap rasa
marah, sedikit berpengaruh pada kehidupan emosional remaja. Tetapi rasa marah
tersebut terus akan berlanjut pemunculannya apabila minat-minatnya,
rencana-rencananya dan tindakan-tindakannya dirintangi.
Dalam upaya memahami remaja, ada 4 faktor yang sangat
penting sehubungan dengan rasa marah.
1). Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan
dengan usaha manusia untuk memiliki dirinya dan menjadi dirinya sendiri.
2). Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu
mencapai masa remaja, dia tidak akan merupakan subjek kemarahan yang berkembang
dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempuyai sikap-sikap dimana ada sisa
kemarahan dalam bentuk permusuhan yang meliputi sisa kemarahan masa lalu.
Sikap-sikap permusuhan berbentuk dendam, kesedihan, prasangka atau
kecenderungan untuk merasa tersiksa. Sikap-sikap permusuhan dapat juga tampak
dalam suatu kecendrungan untuk menjadi curiga dan keengganan atau menganggap
bahwa orang lain tidak bersahabat dan mempunyai motif yang jelek. Sikap-sikap
permusuhan mungkin tampak dalam cara-cara yang bersifat pura-pura. Remaja
bukannya menampakkan kemarahan langsung tetapi remaja lebih menunjukkan
keinginan yang sangat besar.
3). Seringkali perasaan marah sengaja disembunyikan
dan seringkali tampak dalam bentuk yang samar-samar. Bahkan seni dari cinta
mungkin dipakai sebagai alat kemarahan.
4). Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri.
Dalam beberapa hal, aspek ini merupakan aspek yang sangat penting dan juga paling
sulit dipahami.
d. Ketakutan Dan Kecemasan
Menjelang
anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan panjang
yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Banyak
ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa
berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri.
Satu-satunya
cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa
takut, seperti terjadi bila seorang begitu takut sehingga ia tidak berani mencapai
apa yang ada sekarang atau masa depan yang tidak menentu.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah
penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka
bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960;266).
Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada,
reaksi tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem
endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi
perkembangan emosi.
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan
untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu
rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama, dan menimbulkan emosi terarah
pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat mempengaruhi reaksi
emosional. Dengan demikian, anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang
tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda.
Perkembangan kelenjar endoktrin penting untuk
mematangkan prilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi
endoktrin yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stress.
Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi mengecil secara tajam
segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai membesar
lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak berusia 5 tahun, pembesaran
melambat pada usia 5 sampai 11 tahun, dan membesar lebih pesat lagi sampai anak
berusia 16 tahun. Pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai kembali ukuran
semula seperti saat anak baru lahir. Hanya sedikit adrenalin yang diproduksi
dan dikeluarkan sampai saat kelenjar itu membesar. Kegiatan belajar turut
menunjang perkembangan emosi.
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi,
antara lain :
1)
Belajar dengan coba-coba
2)
Belajar dengan cara meniru
3)
Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by
identification)
4)
Belajar melalui pengkondisian
5)
Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan,
terbatas pada aspek reaksi.
4.
Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah
Laku
Gangguan
emosi dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. Hambatan-hambatan dalam
berbicara tertentu telah ditemukan bahwa tidak disebabkan oleh kelainan dalam
organ berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan
seseorang gagap. Seorang gagap seringkali relative dapat normal dalam
berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau senang. Bila dia dihadapkan
kepada situasi-situasi yang menyebabkan ia kebingungan, dapat terjadi ia akan
menunjukkan ketidak normalan dalam bicara. Sikap – sikap takut, malu – malu
atau agresif dapat merupakan akibat dari ketegangan emosi atau frustasi dan
dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu atau situasi-situasi tertentu.
Justru karena reaksi kita berbeda-beda terhadap setiap oarnag yang kita jumpai,
maka jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap hadirnya
individu-individu tertentu akan merangsang timbulnya emosi tertentu.
Seorang
siswa tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, namun bisa
disebabkan seauatu yang terjadi pada anak sehubungan dengan situasi kelas. Jika
ia merasa malu karena gagal dalam menghapal bahan pelajaran di muka kelas, pada
kesempatan lain ia mungkin takut untuk berpartisipasi dalam kegiatan
nemnghapal. Akibatnya ia mungkin memutuskan untuk membolos, atau mungkin ia
melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu melarikan diri dari semuanya
itu, dari orangtuanya, guru-gurunya, atau dari otoritas-otoritas lain.
Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar.
Faktor-faktor afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya
apa yang dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar lebih efektif bila ia
termotivasi, karena ia merasa perlu belajar. Sekali hal ini ada pada dirinya,
selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk menguasai bahan yang
dipelajari. Jika telah ada rasa senang karena berhasil mencapai prestasi, hal
ini akan mengurangi rasa akan kelelahan.
Motivasi
untuk belajar akan membantu individu dalam memusatkan perhatian pada apa yang
ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan memperoleh kepuasan.
Karena reaksi setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk belajar yang diberikan
harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak. Dengan demikian,
rangsangan-rangsangan yang menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan, akan
sangat mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula rangsangan yang
menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa belajar.
5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan,
tetapi terdapat perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu
dari berbagai macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah
mulai terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah frekuensinya
serta lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi
diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang
lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa
kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak
mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan
lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh
sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik
anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi
disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional
dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai
anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap
berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai.
Tetapi sebaliknya mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi
emosi.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan
emosi kecemasan dan takut, sedangkan cara mendidik yang permisif atau
demokratis mendorong berkembangnya semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak
dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih
mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari
keluarga berstatus sosial ekonomi tinggi.
6.
Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan
Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang
cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat
dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan
siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu
mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam
pekerjaan/tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang
dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan
mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita
memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang
bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas
baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada
petugas bimbingan penyuluhan. Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya
memperhatikan pandangan orang lain dalam mengembangkan/meningkatkan pandangan
sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisius,
berpendirian keras, dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak
ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya atau menentangnya.
Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba
sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orangtua dalam keperluan-keperluan
fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan dari
saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun ia harus lepas dari
orangtuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri, sehingga adanya konflik
dengan orangtua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam ini, para
remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapt memperbesar jurang antara
dia dengan orangtuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantau
peristiwa tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk
mungkin rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Karena itu seorang guru
diminta untuk berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak mengisi pikirannya
dengan hal-hal yang lain daripada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik
dengan orangtua, dan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat
sekolah. Salah satu persoalan yang paling membingungkan yang dihadapi oleh guru
ialah bagaimana menghadapi siswa yang hanya mempunyai kecakapan terbatas tetapi
yang selalu memimpikan kejayaan. Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus
asa, tetapi jika ia mendorong siswa tersebut.
B. Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
1. pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap serta
pengaruhnya terhadap tingkah laku.
Nilai-nilai
kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat
kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988:5). Sopan santun,adat, dan
kebiasaan serta niali-niai yang terkandung dalam pancasila adalah nilai-nilai
hidup yang manjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga Negara
dengan sesama warga Negara.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam pancasila yang termasuk dalam sila kemanusiaan yang adil
dan beradab, antara lain :
1) mengakui persamaan
derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia,
2)
mengembangkan sikap tenggang rasa, dan
3) tidak semena-mena
terhadap rang lain, berani membala kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwadarminto, 1957: 957).
Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu
dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan
yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam
bertingkah laku.
Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup,
maka moral merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan
nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengalaman nilai hidup :
tenggang rasa, dalam perilakunya eseorang akan selalu memperhatikan perasaan
orang lain, tidak “semau gue”. Dia dapat membedakan tindakan yang benar dan
yang salah.
Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat
senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan
moral. Dalam hal ini aliran psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara
moral,norma, dan nilai (Sarlito, 1991:91). Semua konsep itu menurut
freud menyatu dalam konsepnya tentang superego yang merupkan bagian dari jiwa
yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan
dengan masyarakat.
Sedangkan, menurut Gerung, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi
individu terhadap sesuatu hal (Mappiare, 1982:58).sikap berkaitan dengan
motif dan mendasari tingkah laku seseorang dapat diramalkan tingkah laku apa
yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap
belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan
(predisposisi) itngkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek
tersebut.
Dengan demikian, keterkaitan antara nilai, moral,
sikap, dan tingkah laku akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata
lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong
oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut
dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang
dimaksud.
2. karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja
Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral
yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock alih bahasa Istiwidayanti dan
kawan-kawan, 1980: 225) sebagai berikut :
1) pandangan
moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
2) Keyakinan
moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang
salah.keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominant.
3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini
mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah
moral yang dihadapinya.
4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5) Penilaian
moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan badan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter
(1965) (dalam Monks, 1984:252), kehidupan moral merupakan
problematic yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau
perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat
memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang
sangat penting.
Dari hasil
penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan enam tahap (stadium)
perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada
tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu tingkat :
Tingkat
I ; prokonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada
stadium 1,anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak
menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkanya. Anak hanya
mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa
di ganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism.
Pada tahapan ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang
ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa
setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi, ada relativisme.
Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan
seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena
perbuatan ”mencuri” untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri dianggap
sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu sendiri
diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat
II : konvensional
Stadium
3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai
memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi
perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain.
Masyarakat adalah sumber yang sangat menentukan, apakah perbuatan seorang baik
atau tidak. Menjadi ”anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium
4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium
ini perbuatan baik ang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima
oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan
atura-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban
untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
Tingkat
III : pasca-konvensional
Stadium
5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya
dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara
dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus
memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial
karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan membeikan
perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini.
Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih
tinggi. Meskipun disini kata hati sudah mulai berbicara, namun penilaian-penilaiannya
masih belum timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang
seringkali tampak dalam sikap yang kaku.
Stadium 6. tahap ini disebut prinsip
univesal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan
subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakaatnya
ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau
tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seseorang
dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh
dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian moral
yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang dikemudikan oleh
tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvensional
harus dicapai selama masa remaja.
Menurut Furter
(1965), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai (Monk’s, 1984:
257). Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian
saja melainkan juga dapat menjalankannya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya
berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian
moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya
penginternalisasian nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.
3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, Dan Sikap
Berdasarkan
seumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi
melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model.bagi
anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi
adalah orang-orang dewasa yang simpatik,teman-teman, orang-orang terkenal,dan
hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam
konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan internalisasi
larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khusunya dari
orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri.
Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang
tuanya di masa kecil, kemungkina besar tidak mampu mengembangkan superego yang
cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma
masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan
bahwa hubungan anak – orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para
sisiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam
pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol
dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat
pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Di dalam usaha membentuk tingakah laku sebagai
pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan
memegang peranan penting. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang
berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk
manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan
dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang
terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin
jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin
kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang
sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh
kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran
yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal ini yang berhubungan dengan nilai
kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada
anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi
sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi,
faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam
perkembangan moral, kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung
sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap
moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang didasarinya.
Moral sifatnya penalaran menurut kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh
perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat
penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula
tingkat moral seseorang.
4. Perbedaaan Individual Dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan
Sikap
Menurut Kohlberg, faktor kebuadayaan mempengaruhi
perkembangan moral, terdapat berbagai rangsangan yag diterima oleh anak-anak
dan ini mempengaruhi tempo perkembangan moral. Bukan saja mengenai cepat atau
lambatnya tahap-tahap perkembangan yang dicapai. Perbedaaan perseorangan juga
dapat dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu.
Pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa, bila
dibandingkan dengan sikap serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan tenggang
rasa, memungkinkan kita menempatkan individu dalam satu kontinum.
Jadi perbedaaan-perbedaan individual dalam pemaham
nilai-nilai, dan moral sebaga pendukung sikap dan perilakunya. Dan mungkin
terjadi individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral, dan
sikap serta tingkah lakunya yang diharapkan padaanya.
5.Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap
Remaja serta Implikasinya Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan
nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui
seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses
yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980: 17).
Adapun
upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral, sikap remaja
adalah:
1. Menciptakan
Komunikasi
Mengikutsertakan,
remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga,
sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung
jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok. Dan remaja juga berpartisipasi
untuk mengembangkan aspek moral misalnya dalam kerja kelompok, sehingga dia
belajar tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini
idak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.
2. Menciptakan Iklim Lingkungan Yang Serasi
Usaha
pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan
pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya
lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sndiri merupakan
penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Selain itu lingkungan
bersifat mengajak mengajak, mengundang atau memberi kesempatan akan lebih aktif
daripada lingkungan yang ditandai dengan larangan dan peraturan yang membatasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Emosi
adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu
tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Emosi juga adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan
fisik. Adapun beberapa kondisi emosional seperti cinta/kasih sayang, gembira,
kemarahan dan permusuhan, ketakutan dan kecemasan. Sedangkan pembagian
ciri-ciri emosional dibagi menjadi dua menurut Biehler (1972) yaitu remaja
berusia 12-15 tahun dan remaja usia 12-15 tahun. Dan faktor-faktor perkembangan
emosional dipengaruhi oleh:
1.
Belajar dengan coba-coba
2.
Belajar dengan cara meniru
3.
Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by
identification)
4.
Belajar melalui pengkondisian
5.
Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan
pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
Nilai-nilai
kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat atau prinsip-prinsip
hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam hidupnya, baik sebagai warga
negara. Sedangkan moral adalah ajaran tentang baik, buruk perbuatan dan kelakuan,
akhlak dan sebagainya. Sikap adalah kesian bereaksi individu terhadap sesuatu
hal. Keterkaitan antaar lain, moral dan sikap tampak dalam pengalaman
nilai-nilai.
B. Saran
Sebagai
orang tua hendaklah memahami kondisi anak dan perkembangan emosional anak
ketika memasukin masa remaja. Agar dapat memahami kondisi tersebut hendaklah
orang mengadakan pendekatan terhadap anak tentang apa yang ia rasakan. Dan anak
pun hendaklah menjadi lebih terbuka serta berusaha mengendalikan emosional pada
dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hartono,
Agung dan Sunarto. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Rineka
Cipta.
Komentar
Posting Komentar